Perempuan Kafe
Aku telah menemukan kesimpulan. Cinta adalah sebuah
hidangan di atas meja yang pelan-pelan dingin dan kau tak lagi lapar. Kau pasti
setuju dengan ungkapan itu. Apalagi semenjak kepergian pacarmu yang tak pernah
kau duga. Sejak itu kau menolak jatuh cinta, bahkan menghindar jauh-jauh. Kau
adalah wanita cantik yang selalu datang tepat waktu. Selalu datang lebih awal
dibanding wanita cantik yang lainnya. Dan aku datang lebih awal darimu. Meski
banyak orang terburu-buru untuk datang terlambat.
Kau tersenyum membaca namaku tercatat menjadi kandidad
siswa teladan di sekolah. Seperti teringat yang dikatakan guru matematika yang
relijius itu. “cobalah tersenyum untuk kebahagiaan teman kita. Meski kita tidak
pernah setitik pun menyukainya”. Aku tertawa ketika mengingatnya, Pak Yanto
namanya. Pak Yanto sering menyematkan dalil-dalil agama meski sedang mengajar
matriks atau logaritma. Dengan berjalan pelan, kau anggun menyusuri ruang-ruang
kelas. Kau tak pernah nampak bahagia atau berduka. Atau aku yang terlalu larut
dalam pemujaan ini sehingga tak mampu kubaca gurat wajahmu. Lebih
sederhananya aku tak terlalu berani menatapmu.
Barangkali sudah satu tahun aku mengagumimu. Dan mungkin
tidak pernah absen memandangimu tiap pagi. Itu alasan kenapa aku mesti datang
lebih awal dari datangmu. Kau duduk di bawah pohon mangga dan aku duduk di
bawah pohon mangga di seberang lainnya. Saat itu aku selalu berharap kau menyematkan
bunga kamboja di telingamu, ku pikir kau akan terlihat lebih cantik begitu. Aku
mendengar dari temanku, ayahmu baru pulang bekerja dari Bali membawa oleh-oleh
kamboja dan dupa yang kau bakar di pekarangan rumah. Aku berharap kau
menyisihkan satu dupa untuk
pemakamanku.
“Aku tahu kau setiap pagi melihatku, bahkan setiap waktu
jika berkesempatan. Tapi apakah kau tahu bahwa barangkali sedetikpun aku tidak
pernah mencintaimu”, katamu, “aku kadang merasa kasihan kepadamu, kau terlalu
menyianyiakan waktumu untuk sekedar melihatku. Kau pikir aku tak sadar, kau
pernah meenguntitku sampai rumah kan?”, aku mengangguk.
Bagaimanapun dia seperti mengupas kepalaku pelan-pelan.
seperti ada ganjalan di leher yang membuat napasku tersengal dan membuat
suaraku tersekat di tenggorokan.
“Kupikir kau membutuhkan teman saat ayahmu pergi, atau
pelindung saat dia tidak ada di sampingmu. Bukankah kesepian selalu membutuhkan
telinga”, kataku lirih.
“Berhentilah..”, katamu.
Kau beranjak dari bangku, dan melangkah pergi meninggalkanku
sendirian di kafe. Kau hilang, lalu bayanganmu seperti tertelan bunga-bunga
yang kuncup diwaktu senja. Tergletak kertas di atas meja. Sepertinya sengaja
kau tinggalkan agar aku menelponmu dan kau merasa dibutuhkan. Aku buka kertas
yang berisi deretan angka. Bukan nomor teleponmu, ternyata deretan tagihan
makanan yang kau pesan di kafe selama satu minggu. Bajangan!.
0 komentar:
Posting Komentar