Jumat, 28 Juli 2017

Perempuan Kafe



Perempuan Kafe
 
di kafe biasa
Aku telah menemukan kesimpulan. Cinta adalah sebuah hidangan di atas meja yang pelan-pelan dingin dan kau tak lagi lapar. Kau pasti setuju dengan ungkapan itu. Apalagi semenjak kepergian pacarmu yang tak pernah kau duga. Sejak itu kau menolak jatuh cinta, bahkan menghindar jauh-jauh. Kau adalah wanita cantik yang selalu datang tepat waktu. Selalu datang lebih awal dibanding wanita cantik yang lainnya. Dan aku datang lebih awal darimu. Meski banyak orang terburu-buru untuk datang terlambat.
Kau tersenyum membaca namaku tercatat menjadi kandidad siswa teladan di sekolah. Seperti teringat yang dikatakan guru matematika yang relijius itu. “cobalah tersenyum untuk kebahagiaan teman kita. Meski kita tidak pernah setitik pun menyukainya”. Aku tertawa ketika mengingatnya, Pak Yanto namanya. Pak Yanto sering menyematkan dalil-dalil agama meski sedang mengajar matriks atau logaritma. Dengan berjalan pelan, kau anggun menyusuri ruang-ruang kelas. Kau tak pernah nampak bahagia atau berduka. Atau aku yang terlalu larut dalam pemujaan ini sehingga tak mampu kubaca gurat wajahmu. Lebih sederhananya aku tak terlalu berani menatapmu.
Barangkali sudah satu tahun aku mengagumimu. Dan mungkin tidak pernah absen memandangimu tiap pagi. Itu alasan kenapa aku mesti datang lebih awal dari datangmu. Kau duduk di bawah pohon mangga dan aku duduk di bawah pohon mangga di seberang lainnya. Saat itu aku selalu berharap kau menyematkan bunga kamboja di telingamu, ku pikir kau akan terlihat lebih cantik begitu. Aku mendengar dari temanku, ayahmu baru pulang bekerja dari Bali membawa oleh-oleh kamboja dan dupa yang kau bakar di pekarangan rumah. Aku berharap kau menyisihkan satu dupa untuk pemakamanku.
“Aku tahu kau setiap pagi melihatku, bahkan setiap waktu jika berkesempatan. Tapi apakah kau tahu bahwa barangkali sedetikpun aku tidak pernah mencintaimu”, katamu, “aku kadang merasa kasihan kepadamu, kau terlalu menyianyiakan waktumu untuk sekedar melihatku. Kau pikir aku tak sadar, kau pernah meenguntitku sampai rumah kan?”, aku mengangguk.
Bagaimanapun dia seperti mengupas kepalaku pelan-pelan. seperti ada ganjalan di leher yang membuat napasku tersengal dan membuat suaraku tersekat di tenggorokan.
“Kupikir kau membutuhkan teman saat ayahmu pergi, atau pelindung saat dia tidak ada di sampingmu. Bukankah kesepian selalu membutuhkan telinga”, kataku lirih.
“Berhentilah..”, katamu.
Kau beranjak dari bangku, dan melangkah pergi meninggalkanku sendirian di kafe. Kau hilang, lalu bayanganmu seperti tertelan bunga-bunga yang kuncup diwaktu senja. Tergletak kertas di atas meja. Sepertinya sengaja kau tinggalkan agar aku menelponmu dan kau merasa dibutuhkan. Aku buka kertas yang berisi deretan angka. Bukan nomor teleponmu, ternyata deretan tagihan makanan yang kau pesan di kafe selama satu minggu. Bajangan!. 

0 komentar:

Posting Komentar