Sabtu, 11 Maret 2017

Gerak Progresif Fundamentalis




 Gerak Progresif Fundamentalis

Dalam segi kuantitas, sebenarnya tidak ada yang perlu dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Dilihat dari sensus penduduk yang menunjukkan bahwa  88% penduduk Indonesia adalah muslim, sebuah presentase yang tinggi. Ini tidak lepas dari dua sayap besar NU dan Muhammadiyah yang bekerjakeras dalam mengembangkan sebuah Islam yang ramah, dan menerima siapa saja, bahkan yang tidak beriman sekalipun, selama pihak-pihak terkait saling menghormati adanya perbedaan pandangan. Tetapi akhir-akhir ini mulai terlihat kembali seglintir umat beragama yang mulai kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi siapa saja yang berbeda pemahaman atau tidak sefaham dengan aliran mereka. Sejarah mencatatkan sudah jutaan darah tertumpah akibat adanya ketidak sepahaman  ideologi. Dunia Islam pun tidak lepas dari kasus-kasus tersebut. Bisa diambil contoh dari  banyaknya kasus kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan faham dan penafsiran akan teks-teks suci. Jika hanya merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Tetapi yang terjadi dewasa ini oknum yang mengatasnamakan Tuhan, lalu menghukum dan bahkan tidak segan untuk membinasakan keyakinan yang berbeda. Mereka percaya bahwa dengan memaksakan pemahaman mereka tentang teks suci termasuk amar ma’ruf nahi munkar.
Di Indonesia individu yang memiliki paham demikian tergabung dalam beberapa ormas bahkan parpol, contohnya HTI dan PKS. Menurut beberapa studi yang pernah dilakukan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan PKS adalah interpretasi  dari Ikhwanul Muslimin, gerakan revolusioner Mesir yang didirikan Hasan al Banna. Terlihat dari pola pengkaderan yang dilakukan dikalangan mahasiswa. Islam model garis keras seperti ini mengincar para intelek muda yang  berpikiran sempit dan memiliki keilmuan agama yang rendah. Kelompok-kelompok ini menggiring kader-kadernya menuju ideologi konservatif dan gemar mengkafir-kafirkan yang tidak sepaham dengan mereka.
Ada teori yang mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di Indonesia sebut saja HTI tidak lepas dari bencana perang yang terjadi diberbagai negara muslim, didorong rasa kesetiakawanan terhadap penderitaan yang menimpa saudar-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan, dan Iraq. Sehingga memunculkan reaksi untuk membantu dengan cara yang mereka percayai seperti membangun Khilafah Islamiyah  dan menyingkirkan mereka yang tidak sepemikiran. Perasaan solider sebenarnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas (moderat) yang sejauh mungkin  menghindari kekerasan dan tetap memilih mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun betul penderitaan umat di kawasan konflik tak tertahankan lagi.
Banyak artikel yang telah terbit menuliskan beberapa tujuan HTI, selain menerapkan syari’at dalam hukum positif di Indonesia mereka juga mempunyai misi terslubung yaitu mendirikan Khilafah Islamiyah di negri ini. Bukankah sebuah ancaman besar bagi NKRI. Dengan adanya syari’at sebagai hukum positif di Indonesia dampak yang akan timbul adalah timbulnya perpecahan, karena bagaimanapun Indonesia bukan hanya milik umat Islam. Toleransi akan keragaman yang sudah ditanamkan oleh leluhur kita sejak berabad-abad yang termuat dalam Bhineka Tunggal Ika akan hilang begitu saja dengan adanya gerakan semacam ini.

Keadaan semakin diperburuk dengan banyaknya simpatisan HTI yang menduduki kursi parlemen. Secara tidak langsung kader-kader fundamentalis akan menerapkan aturan-aturan yang mendukung mulusnya tujuan mereka. Dimulai dari penetapan perda-perda syari’ah, yang mereka bayangkan dengan penetapan perda-perda syari’ah ini, Tuhan akan meridhoi Indonesia. Hal seperti ini tidak lepas dari miskinnya pengetahuan kelompok fundamentalis tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana,  sehingga mereka memilih jalan pintas untuk tegaknya keadilan melelui perda-perda syari’ah. Lucunya kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Terbaca adanya ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi mereka haramkan,  tetapi dalam praktik digunakan demi tercapainya tujuan. Semoga pemerintah dan masyarakat selalu waspada dengan gerakan-gerakan seperti ini. Karena penyebaran mereka yang sistematis dan telah masuk dalam berbagai lini pemerintahan akan sangat membahayakan kesatuan NKRI.         (z-a)

0 komentar:

Posting Komentar