Malam ini sepertinya bintang sedang malu menampakkan diri. Mereka
bersembunyi dibalik awan hitam yang nampak seperti kapas-kapas yang terbakar
dan berterbangan. Begitupula tiang lampu karatan seolah meratapi nasibnya
sebagai jomblo yang hanya ditemani kabel-kabel tua dan buk di bawahnya.
Di buk belakang asrama pesantren memang hanya ada satu lampu penerang jalan
yang hanya mampu menerangi secuil jalan desa dan sungai di bawahnya.
Aku sering duduk di buk kusam itu, di atas sungai kecil yang
saat kemarau tiba tidak menyisakan air sedikit pun. Sudah beberapa minggu ini
aku lebih sering duduk sendiri. Teman yang biasa menemaniku baru saja menikah.
Dia mulai jarang menemuiku, paling kalau sedang ada jam mengajar di pesantren
dia menyempatkan untuk ngobrol disini beberapa menit. Membahas proyek kita yang
mangkrak beberapa bulan sebelum dia menikah. Kami sempat punya rencana
menerjemahkan cerita dari teks-teks arab klasik untuk dibukukan, biar
pertemanan kita selama ini tidak mandul, katanya. Tapi akhir-akhir ini dia
mulai tidak pernah datang lagi, mungkin karena sibuk dengan tesisnya yang harus
kelar tahun ini, atau mungkin karena dia pengantin baru. Maklum lah pengantin
baru, wajar kalau jarang keluar rumah. Mungkin suatu saat aku pun begitu.
Sekedar jalan-jalan melihat gunung atau sawah pun ogah, wong dirumah sudah ada
gunung yang merekah.
Kini buk kusam itu semakin sepi. Hanya ada aku dan malam-malamku
yang menemaninya. Sebetulnya tidak benar-benar sendiri, karena aku selalu
memunguti kenangan satu-persatu untuk kurangkai menjadi rindu. Dalam diam malam
aku sering menulis puisi atau cerpen di atas buk ini, buk yang
seolah menjadi prasasti hidupku di pesantren. banyak sekali kenangan yang
menjadikanya sebagai saksi bisu. Dari mulai adu jotosku dengan teman satu kamar
sampai tempat pertamakali aku menerima surat dari seorang perempuan.
Memang, waktu selalu menjauhkan kita dari kenangan, tapi kenangan
punya cara yang tak bisa digapai oleh waktu, yaitu rindu. Aku selalu merindukan
kenangan-kenangan yang ada di buk ini. Saat aku melihat sungai
dibawahnya aku ingat temanku yang criwis yang mulutnya selalu nrocos seperti
sungai yang mau jebol. Lalu saat aku mendengar bunyi burung gagak yang
nangkring di atas tiang lampu aku ingat teman yang selalu menceramahiku kala
aku mulai sinting gara-gara perempuan.
Ahhh..memang asu, kenangan selalu punya cara
sendiri untuk memenjarakan pemiliknya dalam masa lalu. Tidak terasa tiga bulan
lagi aku juga akan meninggalkan buk ini. Aku akan lulus SMA, lalu
melanjutkan ke perguruan tinggi diluar kota dan meninggalkan buk yang
aku duduki saat ini beserta segala kenanganya. @buk pak kaji (z-a)
0 komentar:
Posting Komentar