Jumat, 24 Maret 2017

Asmaraloka Bumi Janaki

Asmaraloka Bumi Janaki




Setelah berkali-kali membaca dan menulis ulang, Bumi akhirnya mengirim surat itu kepada mantan kekasihnya waktu SMA. Dia sekarang sudah menikah dan memiliki dua anak kembar, Lawa dan Kusa. Mereka memiliki mata bulat, hidung mancung seperti ibunya. Bumi sudah lama menulis surat itu. Memilih dan memilah kata yang sekiranya tidak menyakiti hati Janaki mantan kekasihnya. Mereka pernah dua tahun menjalin hubungan sebelum akhirnya kandas dijalan.

***

Seperti hari-hari biasa Bumi lebih memilih pergi ke perpustakaan waktu jam istirahat tiba. Disitulah pertamakali mereka dipertemukan. Diantara rak-rak dan tumpukan buku yang berdebu. Hening, saat itu benar-benar hening. Hanya ada dua remaja tanggung yang sedang asyik dengan buku masing-masing, tidak ada penjaga waktu itu. Guru-guru dan para staf sedang ada rapat. Kejadian itu berulang selama dua hari berturut-turut, hanya mereka berdua yang ada disitu tanpa satu kecap kata pun. Dua minggu kemudian mereka jadian, entah apa sebabnya, sepertinya novel-novel roman menghipnotis mereka agar menjalin sebuah hubungan cinta.

Bumi kini setiap jam istirahat selalu datang ke perpustakaan. Tidak hanya datang pinjam bukunya Leo Tolstoy yang menjadi novelis favoritnya, kini perpustakaan juga sebagi tempat bertemu Janaki kekasih barunya. Khusus hari Rabu dan Jumat mereka hanya bertukar surat. Mereka selalu bercumbu dengan senyuman dan tatapan mata.  Bumi belum terlalu bernyali untuk mencium Janaki. Sepertinya Janaki juga begitu. Paling mentok mereka  bergandengan tangan sepulang sekolah sebelum akhirnya terpisah oleh jalan rumah yang berbeda arah.

***

Keraguan begitu besar dihati Bumi, dia merasa mengambil keputusan yang salah. Seperti ingin memotong tanganya ketika surat itu masuk kedalam kotak surat. Tapi surat sudah masuk kedalam kotak berwarna senja yang selalu terlihat menyedihkan. Sekarang ia harus pulang dan kembali merajut sepi, kekecewaan, serta rasa bersalah yang tidak Janaki bawa bersama kepergianya. Bumi benar-benar dipenjara oleh rasa itu. Baginya berpisah dengan Janaki baru beberapa bulan lalu, ia selalu melihat mata bulat Janaki pada lentera kamar dan senyum yang tampak menempel pada gorden yang ia buka saban pagi.

Satu bulan setelah terkirimnya surat, satu bulan pula ia resah menunggu balasan dari Janaki. Kepalanya mencoba menerka balasan apa yang akan didapatnya. Sudah satu purnama balasan tidak kunjung datang, tidak seperti dulu balasan selalu datang minimal dua kali seminggu di depan perpustakaan, batinya. Bumi tidak tahu lagi apa yang akan ia lakukan, ia hanya membongkar kenangan tiap malam dan merangkainya saat pagi datang. Tanpa sengaja Bumi menemukan surat-suratnya dulu untuk Janaki tersimpan rapi di dalam peti yang ia kubur dibawah tempat tidurnya.

Tuhan akan melangkah menujuku melalui kakimu

Tuhan akan tersenyum padaku lewat bibirmu

apakah Tuhan akan memelukku melalui tanganmu

apakah Tuhan akan menatapku lewat matamu

kuharap begitu, jika saat ini telingaku adalah pendengaranmu

dan bibirku penggerak senyummu

Dibacanya tanpa suara, Bumi mengingat kembali saat pertamakali ia menulis puisi untuk Janaki. Tiba-tiba semua menjadi abu-abu, masa depan dan masa lalu seolah membaur menjadi satu, bias tanpa bisa ia membedakanya. Rambut panjang Bumi terurai menutupi wajahnya, ia hanya bisa mengingat waktu saat mereka duduk diantara pepohonan. Bumi sering membacakan puisi untuk Janaki.

***

Rabu, 14 Januari. Bumi menunggu Janaki di perpustakaan untuk bertukar surat seperti biasa tapi Janaki belum terlihat juga. Tumben, biasanya Janaki yang menanti Bumi. Ia lalu mencari Janaki mulai dari kelas, kantin, dan halaman belakang sekolah tetapi hasilnya nihil. Ia tidak menemukan Janaki dimanapun. Bumi juga menanyai teman-teman Janaki, siapa tahu Janaki memang sedang tidak berangkat. Kata Wita teman Janaki, akhir-akhir ini Janaki lebih sering pergi ke kamar mandi saat jam pelajaran dan tidak kembali lagi. Aneh sekali.

Seminggu kemudian, terdengar kabar Janaki dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Menurut kabar Janaki dihamili teman ayahnya; seorang polisi hutan. Bumi tidak tahu apa yang terjadi, ia tidak percaya akan hal tersebut, kabar itu seakan memembuatnya seperti ditabrak celeng yang membuat seluruh tulangnya patah. Hatinya hancur berkeping-keping, wanita yang sangat ia cintai saat ini hamil. Bukan darinya tapi dari orang lain. Jangankan menghamili mencium pun Bumi tak pernah, ia hanya mengagumi matanya yang indah dan senyumnya yang selalu mewah. Kini ia sangat kecewa dan merasa dihianati habis-habisan. Janaki benar-benar telah membuat kesetiaannya babak belur tak berdaya.

Sejak kejadian itu Bumi tidak pernah lagi bertemu Janaki. Ia terlalu sakit hati, hingga undangan pernikahan Janaki pun tidak ia buka samasekali. Surat-surat dari Janaki juga tidak pernah ia balas walaupun hanya ucapan rindu atau sekedar bertanya kabar. Kini rasa kecewa melebihi rasa cintanya pada Janaki.

***

Bumi menyesali yang ia lakukan waktu itu. Seharusnya dulu ia datang di pernikahan Janaki memberikan persembahan yang terakhir untuk gadis yang telah ia pacari selama dua tahun. Kini  giliran Bumi yang menyesali, hidup hanya untuk menunggu surat balasan dari mantan kekasihnya. Ia kini terpenjara rindu. Janaki masih berkeliaran di otaknya seraya menghambur-hamburkan bunga yang daunya menjadi tetes air mata yang mengalir dari lereng mata Bumi. Tanpa ia sadari cintanya kepada Janaki ternyata selalu tumbuh dan makin membesar dalam bumi hatinya. Senja telah tiba dan ia masih menunggu di depan rumah berharap ada tukang pos menghantarkan surat dari Janaki.

Dua bulan setelah surat terkirim. Pagi-pagi buta dari jendela berbingkai kayu Bumi melihat pak pos memasukkan surat kedalam kotak posnya yang berwarna senja menyedihkan itu. Surat itu dari Janaki, ia meminta maaf karena tidak bisa membalas surat yang Bumi kirim. Ia bercerita betapa rindunya dia pada Bumi, ia juga selalu menitipkan salam rindunya pada burung-burung yang ia harap akan berkicau menyanyikan kerinduan Janaki kepada Bumi. Teramat rindu katanya. Diakhir suratnya ia bercerita kalau suaminya baru saja meninggal gara-gara ditabrak celeng saat bertugas. Ia mati ditempat. Ia mati persis seperti matinya Bumi waktu mendengar kabar kehamilan Janaki.

Bumi sudah bersiap-siap lagi menulis surat untuk Janaki. Surat untuk yang kedua kalinya setelah mereka berpisah. Dan... sepertinya ia juga akan bersiap melamar janda beranak kembar. Kini ia sadar, baginya perjalanan cinta tidak mungkin selurus jalannya celeng.

Bumi “Tuhan memang anti mainstream dalam menyusun takdir”.


*Tamat*





(Z-A) 12:45 PM

0 komentar:

Posting Komentar