Selasa, 31 Januari 2017

Spanduk Wayang dan Kedangkalan Berpikir

anti wayang kulit


          Beberapa hari yang lalu netizen dihebohkan dengan beredarnya foto-foto spanduk penolakan terhadap pemutaran wayang kulit. Konon spanduk yang salah satunya bertuliskan “Pemutaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam” adalah bentuk respon dari diselenggarakanya “Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk” oleh Dulure Djarot dalam  kampanye Basuki-Djarot dalam Pilkada DKI 2017. Sehingga ada spekulasi bahwa pemasang spanduk tersebut dari lawan politik Basuki-Djarot. Tetapi tidak menutup kemungkinan spanduk tersebut sebagai adanya provokasi dan pembenturan antara Islam dengan budaya lokal.
          Perihal pembuat dan pemasang spanduk tersebut netizen cenderung terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama menuding lawan politik sebagai pemasangnya, bahkan sejumlah netizen menuding kelompok-kelompok garis keras seperti FPI sebagi dalangnya. Adapula kubu yang menyebut spanduk-spanduk tersebut sebagai fitnah yang bertujuan mendiskreditkan  kubu lawan. Yang jelas, beredarnya foto-foto spanduk tersebut berpotensi memunculkan konflik horizontal. Apalagi dengan memanasnya situasi politik dalam negri, tidak menampik kemungkinan adanya pihak asing yang memanfaatkan situasi ini untuk memprovokasi. Padahal, ajaran dalam pewayangan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
          Permasalahan ihwal pementasan wayang sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, pada tahun 2010 di Sukoharjo, Jawa Tengah juga terjadi penolakan pementasan wayang kulit dengan alasan yang sama (bukan budaya Islam). Sebenarnya sikap anti terhadap budaya lokal itu sangat tidak etis, apalagi anti terhadap pagelaran wayang yang sarat akan nilai kebajikan. Selain itu, jika pentas wayang kulit dikaitkan dengan syariat dan budaya Islam sebenarnya wayang kulit memegang peran penting dalam penyebaran agama Islam di negri ini. Khususnya di Jawa, dahulu dalam berdakwah Walisongo  menggunakan media wayang kulit dalam menyampaikan nilai-nilai keislaman. Nilai keislaman dalam pewayangan dapat dijumpai pada lakon “Dewa Ruci”, dimana Bima ditugaskan Resi Durna untuk mencari “trirta panguripan” agar mendapat kesucian hati dan kesempurnaan hidup. Yang pada akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci di samudera dan menemukan trirta panguripan didalam dirinya sendiri. Cerita ini sejalan dengan jalan tasawuf Islam. Seperti yang tertulis dalam karya Jalaluddin Ar Rumi (Fihi Ma Fihi), “yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhanya”.     
          Seharusnya, jika muncul berita-berita semacam itu dilakukan klarifikasi terlebih dahulu, karena identitas pemasang spanduk masih sebatas praduga dan belum tentu nama yang terpampang pada spanduk adalah pembuat / pemasang spanduk tersebut. Sebaiknya masyarakat tidak gampang terprovokasi dan selalu bertabayun dalam menanggapi permasalahan, sehingga berita-berita seperti itu tidak menjadikan disintegrasi antar masyarakat. 

(z.a)





0 komentar:

Posting Komentar