Beberapa hari yang
lalu netizen dihebohkan dengan beredarnya foto-foto spanduk penolakan terhadap
pemutaran wayang kulit. Konon spanduk yang salah satunya bertuliskan “Pemutaran
Wayang Kulit Bukan Syariat Islam” adalah bentuk respon dari diselenggarakanya
“Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk” oleh Dulure Djarot dalam kampanye Basuki-Djarot dalam Pilkada DKI 2017.
Sehingga ada spekulasi bahwa pemasang spanduk tersebut dari lawan politik
Basuki-Djarot. Tetapi tidak menutup kemungkinan spanduk tersebut sebagai adanya
provokasi dan pembenturan antara Islam dengan budaya lokal.
Perihal pembuat dan
pemasang spanduk tersebut netizen cenderung terbagi menjadi dua kubu. Kubu
pertama menuding lawan politik sebagai pemasangnya, bahkan sejumlah netizen
menuding kelompok-kelompok garis keras seperti FPI sebagi dalangnya. Adapula
kubu yang menyebut spanduk-spanduk tersebut sebagai fitnah yang bertujuan
mendiskreditkan kubu lawan. Yang jelas,
beredarnya foto-foto spanduk tersebut berpotensi memunculkan konflik
horizontal. Apalagi dengan memanasnya situasi politik dalam negri, tidak
menampik kemungkinan adanya pihak asing yang memanfaatkan situasi ini untuk
memprovokasi. Padahal, ajaran dalam pewayangan tidak bertentangan dengan
syariat Islam.
Permasalahan ihwal
pementasan wayang sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, pada tahun 2010 di
Sukoharjo, Jawa Tengah juga terjadi penolakan pementasan wayang kulit dengan
alasan yang sama (bukan budaya Islam). Sebenarnya sikap anti terhadap budaya
lokal itu sangat tidak etis, apalagi anti terhadap pagelaran wayang yang sarat
akan nilai kebajikan. Selain itu, jika pentas wayang kulit dikaitkan dengan
syariat dan budaya Islam sebenarnya wayang kulit memegang peran penting dalam
penyebaran agama Islam di negri ini. Khususnya di Jawa, dahulu dalam berdakwah Walisongo menggunakan media wayang kulit dalam
menyampaikan nilai-nilai keislaman. Nilai keislaman dalam pewayangan dapat dijumpai
pada lakon “Dewa Ruci”, dimana Bima ditugaskan Resi Durna untuk mencari “trirta
panguripan” agar mendapat kesucian hati dan kesempurnaan hidup. Yang pada
akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci di samudera dan menemukan trirta
panguripan didalam dirinya sendiri. Cerita ini sejalan dengan jalan tasawuf
Islam. Seperti yang tertulis dalam karya Jalaluddin Ar Rumi (Fihi Ma Fihi), “yang
mengenal dirinya yang mengenal Tuhanya”.
Seharusnya, jika
muncul berita-berita semacam itu dilakukan klarifikasi terlebih dahulu, karena
identitas pemasang spanduk masih sebatas praduga dan belum tentu nama yang
terpampang pada spanduk adalah pembuat / pemasang spanduk tersebut. Sebaiknya
masyarakat tidak gampang terprovokasi dan selalu bertabayun dalam
menanggapi permasalahan, sehingga berita-berita seperti itu tidak menjadikan disintegrasi
antar masyarakat.
(z.a)
0 komentar:
Posting Komentar