Senin, 23 Januari 2017

Mempertanyakan MUI


Kritik terhadap MUI
Mempertanyakan MUI


Umat muslim di Indonesia banyak yang lucunya kelewatan, mereka sering mendakwahkan persatuan umat / ukhuwah islamiyah tetapi mereka juga yang paling hobi mengkotak-kotakkan umat. Bahkan tidak jarang mereka yang berbeda madzhab di hukumi sesat dan kafir. Ingatkah tentang Islam yang diajarkan sang guru bangsa?, Islam yang toleran dan moderat kini mulai tergerus, malah seakan-akan pupus akibat kembali  menguatnya sektarianisme agama di Indonesia, khususnya dalam internal umat Islam. Konon Nabi Muhammad SAW sudah pernah memprediksikan bahwa umatnya akan terpecah menjadi banyak golongan dan sekte, yang dikutip dalam hadist terkenal [ sataftariqu ummati ].
MUI sebagai lembaga yang (katanya) menjadi wakil dari umat Islam di Indonesia seharusnya dapat menjadi penengah dalam masalah perbedaan faham tanpa membeda-bedakan madzhab mayoritas maupun minoritas. Tetapi dalam kenyataanya, sering dijumpai fatwa-fatwa yang tidak relevan dengan konteks keagamaan Indonesia yang notabene tidak menganut madzhab tertentu.
 Klaim ortodoksi terhadap salah satu madzhab sering terjadi di lembaga ini. Contohnya, label sesat yang diberikan MUI kepada Ahmadiyah, Wahidiyah maupun Syiah beberapa tahun lalu menjadi bukti bahwa seolah-olah klaim tentang doktri-doktrin kebenaran hanya dimiliki oleh MUI. Indonesia bukanlah negara penganut salah satu madzhab saja, bahkan kemerdekaan berkeyakinan adalah salah satu hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. mengabaikan masalah intoleransi terhadap madzhab minoritas,  sama saja dengan mengabaikan konstitusi. Seharusnya lembaga sekelas MUI dapat menengahi masalah seperti ini, bukan malah membuat fatwa yang dapat dimanfaatkan kelompok radikal untuk menindas minoritas.
Buya Hamka pernah mengibaratkan peran MUI itu seperti kue bika. Ibarat kue bika, supaya bisa matang ia harus dipanggang dengan api dari atas dan dari bawah. MUI harus berusaha tidak kepanasan dari atas, juga tidak gosong dari bawah. Itu diperlukan agar menjadi kue bika yang matang. Fatwa MUI seharusnya juga dapat menjembatani antara faham mayoritas dan minoritas, bukanya menabrakkanya. Jika terjadi lagi tindak kekerasan seperti pada Ahmadiyah siapa yang akan bertanggung jawab ?. Sangat memprihatinkan kalau fatwa semacam itu masih terus dipakai dan bahkan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tindak kekerasan. Seperti fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah tahun 1980, yang mestinya perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada.  Padahal pada hakikatnya pemberian label sesat termasuk hak prerogatif Tuhan. Akibatnya Gus Dur pernah mengusulkan pembubaran atas MUI. Memang perbedaan tidak dapat dipungkiri, tetapi alangkah baiknya dapat menyikapinya sebagai sebuah kekayaan intelektual yang dimiliki para ‘alim pada zamanya.
Kalaupun MUI benar-benar dibubarkan Indonesia akan tetap baik-baik saja. Selama masih ada NU dan Muhammadiyah yang  bersikap moderat dalam menyikapi masalah perselisihan faham. Sehingga tidak hanya ukhuwah islamiyah saja yang kuat, tetapi ukhuwah wathaniyah juga tetap terjaga. (z-a)






                                                        

0 komentar:

Posting Komentar