Mempertanyakan MUI |
Umat muslim di Indonesia banyak yang lucunya kelewatan, mereka
sering mendakwahkan persatuan umat / ukhuwah islamiyah tetapi mereka
juga yang paling hobi mengkotak-kotakkan umat. Bahkan tidak jarang mereka yang
berbeda madzhab di hukumi sesat dan kafir. Ingatkah tentang Islam yang
diajarkan sang guru bangsa?, Islam yang toleran dan moderat kini mulai
tergerus, malah seakan-akan pupus akibat kembali menguatnya sektarianisme agama di Indonesia,
khususnya dalam internal umat Islam. Konon Nabi Muhammad SAW sudah pernah
memprediksikan bahwa umatnya akan terpecah menjadi banyak golongan dan sekte, yang
dikutip dalam hadist terkenal [ sataftariqu ummati ].
MUI sebagai lembaga yang (katanya) menjadi wakil dari umat Islam di Indonesia seharusnya
dapat menjadi penengah dalam masalah perbedaan faham tanpa membeda-bedakan
madzhab mayoritas maupun minoritas. Tetapi dalam kenyataanya, sering dijumpai
fatwa-fatwa yang tidak relevan dengan konteks keagamaan Indonesia yang notabene
tidak menganut madzhab tertentu.
Klaim ortodoksi terhadap salah
satu madzhab sering terjadi di lembaga ini. Contohnya, label sesat yang
diberikan MUI kepada Ahmadiyah, Wahidiyah maupun Syiah beberapa tahun lalu menjadi
bukti bahwa seolah-olah klaim tentang doktri-doktrin kebenaran hanya dimiliki
oleh MUI. Indonesia bukanlah negara penganut salah satu madzhab saja, bahkan
kemerdekaan berkeyakinan adalah salah satu hak dasar yang dijamin oleh
konstitusi. mengabaikan masalah intoleransi terhadap madzhab minoritas, sama saja dengan mengabaikan konstitusi.
Seharusnya lembaga sekelas MUI dapat menengahi masalah seperti ini, bukan malah
membuat fatwa yang dapat dimanfaatkan kelompok radikal untuk menindas minoritas.
Buya Hamka pernah mengibaratkan peran MUI itu seperti kue bika.
Ibarat kue bika, supaya bisa matang ia harus dipanggang dengan api dari atas
dan dari bawah. MUI harus berusaha tidak kepanasan dari atas, juga tidak gosong
dari bawah. Itu diperlukan agar menjadi kue bika yang matang. Fatwa MUI
seharusnya juga dapat menjembatani antara faham mayoritas dan minoritas,
bukanya menabrakkanya. Jika terjadi lagi tindak kekerasan seperti pada
Ahmadiyah siapa yang akan bertanggung jawab ?. Sangat memprihatinkan kalau
fatwa semacam itu masih terus dipakai dan bahkan disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tindak kekerasan. Seperti fatwa
tentang sesatnya Ahmadiyah tahun 1980, yang mestinya perlu ditinjau ulang
dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada. Padahal pada hakikatnya pemberian label sesat
termasuk hak prerogatif Tuhan. Akibatnya Gus Dur pernah mengusulkan pembubaran
atas MUI. Memang perbedaan tidak dapat dipungkiri, tetapi alangkah baiknya
dapat menyikapinya sebagai sebuah kekayaan intelektual yang dimiliki para ‘alim
pada zamanya.
Kalaupun MUI benar-benar dibubarkan Indonesia akan tetap baik-baik
saja. Selama masih ada NU dan Muhammadiyah yang
bersikap moderat dalam menyikapi masalah perselisihan faham. Sehingga
tidak hanya ukhuwah islamiyah saja yang kuat, tetapi ukhuwah
wathaniyah juga tetap terjaga. (z-a)
0 komentar:
Posting Komentar