Rabu, 19 Oktober 2016

Kesederhanaan itu Bernama Tuhan [ cerpen ]


kesederhanaan itu bernama tuhan
aku



Kesederhanaan Itu Bernama Tuhan

Aku rindu kesederhanaan masa lalu...

     Semalam aku bermimpi, mimpi tentang moment yang telah lama sekali terlewat. Mungkin alam mimpi memang tempatnya segala ingatan manusia mengkristal. Kristal-kristal ingatan itu tergantung di langit-langit ketidaksadaran kita, dan ketika kita butuh diingatkan, mereka akan pecah lalu berpendar-pendar. Cahaya akan dibiaskan oleh pecahan-pecahan kristal ingatan itu. Maka muncul lah visualisasi samar yang indah. Semakin samar semakin indah.
    Mimpi semalam adalah tentang hari pertamaku masuk sekolah. SDN Purwosari 02 pagi. Seragam ku baru, masih berbau pabrik garment, berjenama "Romi Jaya". Tas kebesaran, berisi 3 buah buku tulis, 3 batang pensil, 1 karet penghapus, kotak makan bergambar ultraman, dan botol minum yang bentuknya seperti R2-D2 dalam Star Wars. Kebahagian hari itu seperti masih bisa aku raba, dalam setengah terjaga.
     Pagi itu, 16 tahun lalu. Dekatnya seperti tadi pagi. Pagi itu kebahagiaan begitu sederhana, kebahagian pagi itu adalah aroma garment seragam "Romi Jaya"-ku. Pada pagi 20 tahun lalu itu kebehagiaan datang apa adanya, ia mudah dinikmati, mudah dimaknai. Tidaklah ia menjelma gadis cantik yang menawarkan cinta, tidak juga ia menjelma sederet angka di layar ATM. Pagi itu bentuknya yang paling rumit hanya serupa botol minum R2-D2. Aku sangat  rindu pagi itu. Aku rindu kesederhanaan itu.
    Tapi hari ini, kebahagiaan telah menjadi begitu rumit. Terkadang ia menjelma sesuatu yang tidak benar-benar aku mengerti. Seringkali kemegahannya membuat aku kagum dari kejauhan, maka aku hampiri ia dengan berlari. Terengah-engah. Terseok-seok. Kadang pula sampai jatuh tersungkur. Tapi setelah dekat, ia hanya sebuah mercusuar tua hampir runtuh, yang memberi tahu bahwa bahtera kebahagian baru saja angkat sauh. Jadilah aku berenang-renang tanpa pelampung. Bertaruh nyawa dengan hiu dan makhluk-makhluk laut bergigi tajam, untuk mengejar bahtera itu. Tapi lagi-lagi bahtera itu hanya serupa rakit kecil yang hampir karam.
    Kebahagiaan hari ini adalah sesuatu yang sulit dimaknai. Terkadang ia serupa teka-teki maha rumit yang disajikan dalam bahasa dari luar bumi. Aku coba untuk memecahkan nya. Berkali-kali. Tapi selalu gagal, lalu aku tinggalkan karena bosan. Ada waktunya ia hanya menjelma jadi sesuatu yang sangat tidak menarik. Serupa batu buram yang pantaslah kalau aku abaikan.
     Aku benar-benar rindu betapa sederhananya kebahagian masa lalu itu.Tidak kah waktu selalu merampas kesederhanaan kita? dan menggantinya dengan kompleksitas yang selalu membelah diri. Kompleksitas itu bersarang di celah sempit bernama hati. Menunggu ditemukan, menunggu ,dimengerti, menunggu dikenali.  Ia ada tapi menunggu. Dan kebahagiaan ku hari ini telah menjelma serupa jalan yang sangat panjang pencarian ku atas kebahagiaan itu sendiri.
     Atau mungkin sebenarnya Ia selalu disana. Tetap sederhana. Tidak berubah. Tidak juga bergeser di tempat sedikitpun. Hanya saja (sekali lagi mungkin) pikiran ku yang selalu haus akan kompleksitas, hanyut dalam riuh euforia pencarian. Mungkin kah pikiranku menjadi terlalu bising oleh petunjuk-petunjuk jalan yang semakin merancukan tujuan? sehingga tidak mampu lagi mendengar kesederhanaan hati ini.

***

Tentang Hati adalah tentang Tuhan yang paling sederhana...
    Segala tentang hati adalah lebih luas dari pikiran manusia yang katanya lebih luas dari semesta.  Lebih kompleks, dan juga lebih sederhana. Karena yang paling sederhana adalah juga yang paling kompleks. Tidak lah aku dengan ceroboh mau menjelaskan perihal yang satu ini. Tidak pula ingin memberi penjelasan kepada yang lain tentang perihal tersebut. Essay ini hanya hikayat logika sekarat yang hampir mati lemas dalam kompleksitas pencariaannya atas kebahagiaan yang paling sederhana.
    Tidak kah aku berkuasa atas hati ku?atau sebaliknya? Tidak kah logika ku selalu mati lemas dihadapannya? Lalu bagaimana kita bisa memahami suatu kompleksitas tanpa logika?
     Semua dimulai dari sebuah keragu-raguan. Keragu-raguan lah yang membuat aku bertanya-tanya tentang kebenaran. Pada dasarnya pada tahap tertentu manusia akan mempertanyakan tentang kebenaran yang ia yakini. Keragu-raguan itu terfokus pada sebuah kesaksian "aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia". Tidak kah aku adalah seorang saksi palsu? tidak kah kamu juga begitu? Aku bersaksi atas Ia yang belum pernah aku alami. Atas Ia yang belum juga aku kenal dengan pasti (atau mungkin aku lupa bahwa dulu aku pernah mengenali-Nya) Tidakkah aku penuh kemunafikan? Mulailah aku memacu logika untuk mengenali-Nya, mamahami, dan menemukan-Nya.
    Banyak penunjuk jalan yang aku temui dalam pencarian itu. Banyak dari mereka menunjukkan arah yang berbeda-beda. Maka aku singgahi lah satu-satu. Tempat-tempat itu terasa semakin jauh semakin asing. Tidak lah aku mau singgah berlama-lama ditempat asing. Cukup lah bagi ku mengetahui cara mereka memeperkenalkan Dia. Tidak satupun dari cara mereka yang bisa aku terima. Kebanyakan dari mereka memperkenalkan Dia sebagai sesuatu yang menjelma kekuasaan. Dia yang dengan kebenaran-Nya melihat yang lain sebagai salah.
    Jadi lah aku seperti binatang yang tersesat di pusat kota. Bingung mencari jalan untuk kembali pulang ke rimba. Ketersesatan itu memberikan aku banyak sekali buah tangan untuk dibawa pulang  tapi sayangnya aku lupa menebar remah roti di sepanjang jalan pulang.
    Pada suatu ketika di suatu titik mati logika. Aku yang merasa benar-benar lelah, jatuh dalam tidur. Dalam tidur itu aku bermimipi. Mimpi yang sederhana. Bukan mimpi tentang keagungan, atau kemegahan-Nya. Hanya mimpi tentang betapa sederhanya diri ku. Mimpi yang berasal dari kristal-kristal ingatan masa lalu. Mimpi yang mengingatkan aku jalan pulang. Mimpi yang membuat aku rindu. Rindu pada kesederhanaan masa lalu.
    Mimpi itu menyadarkan aku dari mimpi yang sebenarnya. Menjauhkan aku dari kompleksitas yang aku bangun sendiri. Membangkitkan ingatan ku tentang bagaimana cara mengenal Dia. Dia yang sederhana. Yang tetap. Yang tidak berubah. Yang tidak berpindah. Dia yang selalu ada tapi menunggu.
     Dia dalam hati ku. Dia yang aku kenal dulu. Ketika aku juga masih sangat sederhana. Dia yang milik ku sendiri. Bukan Dia yang mencipta. Bukan juga Dia yang menurunkan hujan, menggugurkan dedaunan, atau mengatur arah perputaran planet-planet. Dia yang aku kenal adalah Dia yang paling sederhana. Dia yang hanya menjelma bau garment seregam baru, atau botol air minum R2-D2. Dia yang dengan kesederhanaa-Nya menjelma jadi kebahagiaan masa lalu.
    Hati ku adalah essensi-Nya. Hati ku dan Dia adalah satu kesatuan. Dia ada dalam diri ku. Biar lah Tuhan-Tuhan lain sibuk mencipta, menurunkan hujan, petir dan badai. Biar lah Dia yang lain sibuk membelah lautan, mendinginkan api, atau menghidupkan yang sudah mati. Biar lah mereka dengan logika mereka mengenali Tuhan-Tuhan itu. Perihal itu bukan bagian ku. Biar lah aku mengenal Dia dengan cara ku sendiri. Cara hati, yang pada hakikatnya adalah cara-Nya. Biar lah aku mengenal-Nya sebagai kesederhanaan yang tidak bisa ditalar oleh logika manapun. Kesederhanaan yang bernama Tuhan. (Aku rindu pada-Mu)

by: z-a & Farid

1 komentar: