Sabtu, 19 Agustus 2017

Pastikan Terjaga Sebelum Menulis Puisi

Pastikan Terjaga Sebelum Menulis Puisi

Ketika pagi masih lusuh oleh malam
jendela telah menjadi sela bagi lagu dari
radio tetangga,
menerbangkan mimpi jingga
lewat suara yang menggema dari udara.

Aku beranjak,
menanyakan mata mimpi sebelumnya,
sebelum kawat duri yang akhirnya jatuh
menimpa balon di atas aku.

Aku selalu memastikan tanganku setelah itu,
atau mencubit atau menghitung jemari
yang biasanya tak utuh. Meski ganjil
berkali-kali genap saat dihitung kembali.

Telingaku tak mampu memastikan
tawamu dua detik sebelum ini,
tidur atau tersadar mimpi, tapi
aku mengingat warna sepatumu
seperti warna hijau yang sedikit kebiruan,
sedikit biru kelangit-langitan.


Perlu waktu, sekurang-kurangnya dua menit,
dari menit pertama setelah terjaga. Belum
termasuk memastikan jendela terbuka atau
lampu menyala. 



Aku menulis ini pagi hari

Jumat, 28 Juli 2017

Perempuan Kafe



Perempuan Kafe
 
di kafe biasa
Aku telah menemukan kesimpulan. Cinta adalah sebuah hidangan di atas meja yang pelan-pelan dingin dan kau tak lagi lapar. Kau pasti setuju dengan ungkapan itu. Apalagi semenjak kepergian pacarmu yang tak pernah kau duga. Sejak itu kau menolak jatuh cinta, bahkan menghindar jauh-jauh. Kau adalah wanita cantik yang selalu datang tepat waktu. Selalu datang lebih awal dibanding wanita cantik yang lainnya. Dan aku datang lebih awal darimu. Meski banyak orang terburu-buru untuk datang terlambat.
Kau tersenyum membaca namaku tercatat menjadi kandidad siswa teladan di sekolah. Seperti teringat yang dikatakan guru matematika yang relijius itu. “cobalah tersenyum untuk kebahagiaan teman kita. Meski kita tidak pernah setitik pun menyukainya”. Aku tertawa ketika mengingatnya, Pak Yanto namanya. Pak Yanto sering menyematkan dalil-dalil agama meski sedang mengajar matriks atau logaritma. Dengan berjalan pelan, kau anggun menyusuri ruang-ruang kelas. Kau tak pernah nampak bahagia atau berduka. Atau aku yang terlalu larut dalam pemujaan ini sehingga tak mampu kubaca gurat wajahmu. Lebih sederhananya aku tak terlalu berani menatapmu.
Barangkali sudah satu tahun aku mengagumimu. Dan mungkin tidak pernah absen memandangimu tiap pagi. Itu alasan kenapa aku mesti datang lebih awal dari datangmu. Kau duduk di bawah pohon mangga dan aku duduk di bawah pohon mangga di seberang lainnya. Saat itu aku selalu berharap kau menyematkan bunga kamboja di telingamu, ku pikir kau akan terlihat lebih cantik begitu. Aku mendengar dari temanku, ayahmu baru pulang bekerja dari Bali membawa oleh-oleh kamboja dan dupa yang kau bakar di pekarangan rumah. Aku berharap kau menyisihkan satu dupa untuk pemakamanku.
“Aku tahu kau setiap pagi melihatku, bahkan setiap waktu jika berkesempatan. Tapi apakah kau tahu bahwa barangkali sedetikpun aku tidak pernah mencintaimu”, katamu, “aku kadang merasa kasihan kepadamu, kau terlalu menyianyiakan waktumu untuk sekedar melihatku. Kau pikir aku tak sadar, kau pernah meenguntitku sampai rumah kan?”, aku mengangguk.
Bagaimanapun dia seperti mengupas kepalaku pelan-pelan. seperti ada ganjalan di leher yang membuat napasku tersengal dan membuat suaraku tersekat di tenggorokan.
“Kupikir kau membutuhkan teman saat ayahmu pergi, atau pelindung saat dia tidak ada di sampingmu. Bukankah kesepian selalu membutuhkan telinga”, kataku lirih.
“Berhentilah..”, katamu.
Kau beranjak dari bangku, dan melangkah pergi meninggalkanku sendirian di kafe. Kau hilang, lalu bayanganmu seperti tertelan bunga-bunga yang kuncup diwaktu senja. Tergletak kertas di atas meja. Sepertinya sengaja kau tinggalkan agar aku menelponmu dan kau merasa dibutuhkan. Aku buka kertas yang berisi deretan angka. Bukan nomor teleponmu, ternyata deretan tagihan makanan yang kau pesan di kafe selama satu minggu. Bajangan!. 

Jumat, 24 Maret 2017

Asmaraloka Bumi Janaki

Asmaraloka Bumi Janaki




Setelah berkali-kali membaca dan menulis ulang, Bumi akhirnya mengirim surat itu kepada mantan kekasihnya waktu SMA. Dia sekarang sudah menikah dan memiliki dua anak kembar, Lawa dan Kusa. Mereka memiliki mata bulat, hidung mancung seperti ibunya. Bumi sudah lama menulis surat itu. Memilih dan memilah kata yang sekiranya tidak menyakiti hati Janaki mantan kekasihnya. Mereka pernah dua tahun menjalin hubungan sebelum akhirnya kandas dijalan.

***

Seperti hari-hari biasa Bumi lebih memilih pergi ke perpustakaan waktu jam istirahat tiba. Disitulah pertamakali mereka dipertemukan. Diantara rak-rak dan tumpukan buku yang berdebu. Hening, saat itu benar-benar hening. Hanya ada dua remaja tanggung yang sedang asyik dengan buku masing-masing, tidak ada penjaga waktu itu. Guru-guru dan para staf sedang ada rapat. Kejadian itu berulang selama dua hari berturut-turut, hanya mereka berdua yang ada disitu tanpa satu kecap kata pun. Dua minggu kemudian mereka jadian, entah apa sebabnya, sepertinya novel-novel roman menghipnotis mereka agar menjalin sebuah hubungan cinta.

Bumi kini setiap jam istirahat selalu datang ke perpustakaan. Tidak hanya datang pinjam bukunya Leo Tolstoy yang menjadi novelis favoritnya, kini perpustakaan juga sebagi tempat bertemu Janaki kekasih barunya. Khusus hari Rabu dan Jumat mereka hanya bertukar surat. Mereka selalu bercumbu dengan senyuman dan tatapan mata.  Bumi belum terlalu bernyali untuk mencium Janaki. Sepertinya Janaki juga begitu. Paling mentok mereka  bergandengan tangan sepulang sekolah sebelum akhirnya terpisah oleh jalan rumah yang berbeda arah.

***

Keraguan begitu besar dihati Bumi, dia merasa mengambil keputusan yang salah. Seperti ingin memotong tanganya ketika surat itu masuk kedalam kotak surat. Tapi surat sudah masuk kedalam kotak berwarna senja yang selalu terlihat menyedihkan. Sekarang ia harus pulang dan kembali merajut sepi, kekecewaan, serta rasa bersalah yang tidak Janaki bawa bersama kepergianya. Bumi benar-benar dipenjara oleh rasa itu. Baginya berpisah dengan Janaki baru beberapa bulan lalu, ia selalu melihat mata bulat Janaki pada lentera kamar dan senyum yang tampak menempel pada gorden yang ia buka saban pagi.

Satu bulan setelah terkirimnya surat, satu bulan pula ia resah menunggu balasan dari Janaki. Kepalanya mencoba menerka balasan apa yang akan didapatnya. Sudah satu purnama balasan tidak kunjung datang, tidak seperti dulu balasan selalu datang minimal dua kali seminggu di depan perpustakaan, batinya. Bumi tidak tahu lagi apa yang akan ia lakukan, ia hanya membongkar kenangan tiap malam dan merangkainya saat pagi datang. Tanpa sengaja Bumi menemukan surat-suratnya dulu untuk Janaki tersimpan rapi di dalam peti yang ia kubur dibawah tempat tidurnya.

Tuhan akan melangkah menujuku melalui kakimu

Tuhan akan tersenyum padaku lewat bibirmu

apakah Tuhan akan memelukku melalui tanganmu

apakah Tuhan akan menatapku lewat matamu

kuharap begitu, jika saat ini telingaku adalah pendengaranmu

dan bibirku penggerak senyummu

Dibacanya tanpa suara, Bumi mengingat kembali saat pertamakali ia menulis puisi untuk Janaki. Tiba-tiba semua menjadi abu-abu, masa depan dan masa lalu seolah membaur menjadi satu, bias tanpa bisa ia membedakanya. Rambut panjang Bumi terurai menutupi wajahnya, ia hanya bisa mengingat waktu saat mereka duduk diantara pepohonan. Bumi sering membacakan puisi untuk Janaki.

***

Rabu, 14 Januari. Bumi menunggu Janaki di perpustakaan untuk bertukar surat seperti biasa tapi Janaki belum terlihat juga. Tumben, biasanya Janaki yang menanti Bumi. Ia lalu mencari Janaki mulai dari kelas, kantin, dan halaman belakang sekolah tetapi hasilnya nihil. Ia tidak menemukan Janaki dimanapun. Bumi juga menanyai teman-teman Janaki, siapa tahu Janaki memang sedang tidak berangkat. Kata Wita teman Janaki, akhir-akhir ini Janaki lebih sering pergi ke kamar mandi saat jam pelajaran dan tidak kembali lagi. Aneh sekali.

Seminggu kemudian, terdengar kabar Janaki dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Menurut kabar Janaki dihamili teman ayahnya; seorang polisi hutan. Bumi tidak tahu apa yang terjadi, ia tidak percaya akan hal tersebut, kabar itu seakan memembuatnya seperti ditabrak celeng yang membuat seluruh tulangnya patah. Hatinya hancur berkeping-keping, wanita yang sangat ia cintai saat ini hamil. Bukan darinya tapi dari orang lain. Jangankan menghamili mencium pun Bumi tak pernah, ia hanya mengagumi matanya yang indah dan senyumnya yang selalu mewah. Kini ia sangat kecewa dan merasa dihianati habis-habisan. Janaki benar-benar telah membuat kesetiaannya babak belur tak berdaya.

Sejak kejadian itu Bumi tidak pernah lagi bertemu Janaki. Ia terlalu sakit hati, hingga undangan pernikahan Janaki pun tidak ia buka samasekali. Surat-surat dari Janaki juga tidak pernah ia balas walaupun hanya ucapan rindu atau sekedar bertanya kabar. Kini rasa kecewa melebihi rasa cintanya pada Janaki.

***

Bumi menyesali yang ia lakukan waktu itu. Seharusnya dulu ia datang di pernikahan Janaki memberikan persembahan yang terakhir untuk gadis yang telah ia pacari selama dua tahun. Kini  giliran Bumi yang menyesali, hidup hanya untuk menunggu surat balasan dari mantan kekasihnya. Ia kini terpenjara rindu. Janaki masih berkeliaran di otaknya seraya menghambur-hamburkan bunga yang daunya menjadi tetes air mata yang mengalir dari lereng mata Bumi. Tanpa ia sadari cintanya kepada Janaki ternyata selalu tumbuh dan makin membesar dalam bumi hatinya. Senja telah tiba dan ia masih menunggu di depan rumah berharap ada tukang pos menghantarkan surat dari Janaki.

Dua bulan setelah surat terkirim. Pagi-pagi buta dari jendela berbingkai kayu Bumi melihat pak pos memasukkan surat kedalam kotak posnya yang berwarna senja menyedihkan itu. Surat itu dari Janaki, ia meminta maaf karena tidak bisa membalas surat yang Bumi kirim. Ia bercerita betapa rindunya dia pada Bumi, ia juga selalu menitipkan salam rindunya pada burung-burung yang ia harap akan berkicau menyanyikan kerinduan Janaki kepada Bumi. Teramat rindu katanya. Diakhir suratnya ia bercerita kalau suaminya baru saja meninggal gara-gara ditabrak celeng saat bertugas. Ia mati ditempat. Ia mati persis seperti matinya Bumi waktu mendengar kabar kehamilan Janaki.

Bumi sudah bersiap-siap lagi menulis surat untuk Janaki. Surat untuk yang kedua kalinya setelah mereka berpisah. Dan... sepertinya ia juga akan bersiap melamar janda beranak kembar. Kini ia sadar, baginya perjalanan cinta tidak mungkin selurus jalannya celeng.

Bumi “Tuhan memang anti mainstream dalam menyusun takdir”.


*Tamat*





(Z-A) 12:45 PM

Minggu, 19 Maret 2017

Bak Bik Buk Kenangan

 Bak Bik Buk Kenangan

Malam ini sepertinya bintang sedang malu menampakkan diri. Mereka bersembunyi dibalik awan hitam yang nampak seperti kapas-kapas yang terbakar dan berterbangan. Begitupula tiang lampu karatan seolah meratapi nasibnya sebagai jomblo yang hanya ditemani kabel-kabel tua dan buk di bawahnya. Di buk belakang asrama pesantren memang hanya ada satu lampu penerang jalan yang hanya mampu menerangi secuil jalan desa dan sungai di bawahnya.
Aku sering duduk di buk kusam itu, di atas sungai kecil yang saat kemarau tiba tidak menyisakan air sedikit pun. Sudah beberapa minggu ini aku lebih sering duduk sendiri. Teman yang biasa menemaniku baru saja menikah. Dia mulai jarang menemuiku, paling kalau sedang ada jam mengajar di pesantren dia menyempatkan untuk ngobrol disini beberapa menit. Membahas proyek kita yang mangkrak beberapa bulan sebelum dia menikah. Kami sempat punya rencana menerjemahkan cerita dari teks-teks arab klasik untuk dibukukan, biar pertemanan kita selama ini tidak mandul, katanya. Tapi akhir-akhir ini dia mulai tidak pernah datang lagi, mungkin karena sibuk dengan tesisnya yang harus kelar tahun ini, atau mungkin karena dia pengantin baru. Maklum lah pengantin baru, wajar kalau jarang keluar rumah. Mungkin suatu saat aku pun begitu. Sekedar jalan-jalan melihat gunung atau sawah pun ogah, wong dirumah sudah ada gunung yang merekah.
Kini buk kusam itu semakin sepi. Hanya ada aku dan malam-malamku yang menemaninya. Sebetulnya tidak benar-benar sendiri, karena aku selalu memunguti kenangan satu-persatu untuk kurangkai menjadi rindu. Dalam diam malam aku sering menulis puisi atau cerpen di atas buk ini, buk yang seolah menjadi prasasti hidupku di pesantren. banyak sekali kenangan yang menjadikanya sebagai saksi bisu. Dari mulai adu jotosku dengan teman satu kamar sampai tempat pertamakali aku menerima surat dari seorang perempuan.

Memang, waktu selalu menjauhkan kita dari kenangan, tapi kenangan punya cara yang tak bisa digapai oleh waktu, yaitu rindu. Aku selalu merindukan kenangan-kenangan yang ada di buk ini. Saat aku melihat sungai dibawahnya aku ingat temanku yang criwis yang mulutnya selalu nrocos seperti sungai yang mau jebol. Lalu saat aku mendengar bunyi burung gagak yang nangkring di atas tiang lampu aku ingat teman yang selalu menceramahiku kala aku mulai sinting gara-gara perempuan. 
Ahhh..memang asu, kenangan selalu punya cara sendiri untuk memenjarakan pemiliknya dalam masa lalu. Tidak terasa tiga bulan lagi aku juga akan meninggalkan buk ini. Aku akan lulus SMA, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi diluar kota dan meninggalkan buk yang aku duduki saat ini beserta segala kenanganya.                                                                                                                                                                                                                                                                                       @buk pak kaji (z-a) 

Kamis, 16 Maret 2017

Judulnya Namamu



Mungkin suatu waktu kau lukis wajahku dengan tanganmu
terulur airmataku melalui lembah pipimu
datanglah waktu dimana kau adalah aku
kau purnama cahayaku
aku jantung dari darahmu
kau darah bagi nadiku
lalu kosongku adalah bunga yang siap kau hinggapi, buahi
menuju jauh pada detakmu

Apa yang lebih kau yakini merdu itu bukan aku
sebab kaulah penyair dalam puisi-puisiku
perangai sungai pada muara kau membawaku menuju samudra
kau buka tabirmu agar aku menujumu
membuka jalan penyilau mata para pecinta
sekedarnya aku nafaskan kau dalam rindu
setiap kali kau surati aku lewat seruling tiupmu
yang nadanya dititipkan kepada burung-burung
seperti adanya rindu Qais pada Laila
melengkung jauh menuju poros tiap gunung

Dengan menyebut sang pembawa raga
kutitipkan salamku pada udara
biar dia membawakan kabar untuk sang Maha Raja
betapa maklum aku padamu mendamba
setelah kuabdikan jiwaku padanya menghamba
tanpa merajam kepalaku pada tiang-tingnya
membiarkan jiwa mengembara savana
dan menemukan ratu untuk dicinta.



Z-A 12.00 PM

Minggu, 12 Maret 2017

Membentang Entah

Membentang Entah

Aku mulai kesulitan menuliskan "kamu"
atau memungut ranting, dan merangkainya menjadi bunga
kini aku dan kau terpisah oleh entah yang tak terjangkau
bukan lagi oleh jembatan depan sekolah
tapi danau yang membentang diantara dua pulau
kau pun tahu, kini kita hanya bagian dari kenangan
yang memiliki halaman bernama rindu
didalmnya tidak ada lagi waktu
hanya terkubur kau dan aku
Dulu dibawah pohon mangga aku menemuimu
dengan kacamatamu engkau duduk terpaku
disana ku pungut burai debu
meski dari sudut kusam yang mungkin tidak kamu tahu
tapi seolah bagiku dari puncak Arupadatu
atau Lawu bahkan Mahameru
aku benar-benar jatuh pada waktu
menikmati buih Tuhan pada lawana kuasaNya waktu itu
lalu tenggelam dalam hanyut
dan ketika suatu saat namamu kembali berdenyut
kembali pula aku melantunkan "kamu" dalam wirid malamku


(z-a) 
di teras pesantren 00:00 WIB

Sabtu, 11 Maret 2017

Gerak Progresif Fundamentalis




 Gerak Progresif Fundamentalis

Dalam segi kuantitas, sebenarnya tidak ada yang perlu dirisaukan tentang masa depan Islam di Indonesia. Dilihat dari sensus penduduk yang menunjukkan bahwa  88% penduduk Indonesia adalah muslim, sebuah presentase yang tinggi. Ini tidak lepas dari dua sayap besar NU dan Muhammadiyah yang bekerjakeras dalam mengembangkan sebuah Islam yang ramah, dan menerima siapa saja, bahkan yang tidak beriman sekalipun, selama pihak-pihak terkait saling menghormati adanya perbedaan pandangan. Tetapi akhir-akhir ini mulai terlihat kembali seglintir umat beragama yang mulai kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi siapa saja yang berbeda pemahaman atau tidak sefaham dengan aliran mereka. Sejarah mencatatkan sudah jutaan darah tertumpah akibat adanya ketidak sepahaman  ideologi. Dunia Islam pun tidak lepas dari kasus-kasus tersebut. Bisa diambil contoh dari  banyaknya kasus kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan faham dan penafsiran akan teks-teks suci. Jika hanya merasa paling benar tanpa menghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Tetapi yang terjadi dewasa ini oknum yang mengatasnamakan Tuhan, lalu menghukum dan bahkan tidak segan untuk membinasakan keyakinan yang berbeda. Mereka percaya bahwa dengan memaksakan pemahaman mereka tentang teks suci termasuk amar ma’ruf nahi munkar.
Di Indonesia individu yang memiliki paham demikian tergabung dalam beberapa ormas bahkan parpol, contohnya HTI dan PKS. Menurut beberapa studi yang pernah dilakukan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan PKS adalah interpretasi  dari Ikhwanul Muslimin, gerakan revolusioner Mesir yang didirikan Hasan al Banna. Terlihat dari pola pengkaderan yang dilakukan dikalangan mahasiswa. Islam model garis keras seperti ini mengincar para intelek muda yang  berpikiran sempit dan memiliki keilmuan agama yang rendah. Kelompok-kelompok ini menggiring kader-kadernya menuju ideologi konservatif dan gemar mengkafir-kafirkan yang tidak sepaham dengan mereka.
Ada teori yang mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di Indonesia sebut saja HTI tidak lepas dari bencana perang yang terjadi diberbagai negara muslim, didorong rasa kesetiakawanan terhadap penderitaan yang menimpa saudar-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan, dan Iraq. Sehingga memunculkan reaksi untuk membantu dengan cara yang mereka percayai seperti membangun Khilafah Islamiyah  dan menyingkirkan mereka yang tidak sepemikiran. Perasaan solider sebenarnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas (moderat) yang sejauh mungkin  menghindari kekerasan dan tetap memilih mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun betul penderitaan umat di kawasan konflik tak tertahankan lagi.
Banyak artikel yang telah terbit menuliskan beberapa tujuan HTI, selain menerapkan syari’at dalam hukum positif di Indonesia mereka juga mempunyai misi terslubung yaitu mendirikan Khilafah Islamiyah di negri ini. Bukankah sebuah ancaman besar bagi NKRI. Dengan adanya syari’at sebagai hukum positif di Indonesia dampak yang akan timbul adalah timbulnya perpecahan, karena bagaimanapun Indonesia bukan hanya milik umat Islam. Toleransi akan keragaman yang sudah ditanamkan oleh leluhur kita sejak berabad-abad yang termuat dalam Bhineka Tunggal Ika akan hilang begitu saja dengan adanya gerakan semacam ini.

Keadaan semakin diperburuk dengan banyaknya simpatisan HTI yang menduduki kursi parlemen. Secara tidak langsung kader-kader fundamentalis akan menerapkan aturan-aturan yang mendukung mulusnya tujuan mereka. Dimulai dari penetapan perda-perda syari’ah, yang mereka bayangkan dengan penetapan perda-perda syari’ah ini, Tuhan akan meridhoi Indonesia. Hal seperti ini tidak lepas dari miskinnya pengetahuan kelompok fundamentalis tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana,  sehingga mereka memilih jalan pintas untuk tegaknya keadilan melelui perda-perda syari’ah. Lucunya kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Terbaca adanya ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi mereka haramkan,  tetapi dalam praktik digunakan demi tercapainya tujuan. Semoga pemerintah dan masyarakat selalu waspada dengan gerakan-gerakan seperti ini. Karena penyebaran mereka yang sistematis dan telah masuk dalam berbagai lini pemerintahan akan sangat membahayakan kesatuan NKRI.         (z-a)